Bahaya laten cepu!
Apakah anda pernah mendengar istilah cepu? Cepu adalah istilah untuk orang yang bekerja sama dengan polisi, biasanya cepu selalu terkait dengan kasus narkoba. Cepu dalam kasus narkoba adalah orang yang bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mencari target tangkapan. Biasanya cepu digunakan untuk kasus yang direkayasa, biasanya cepu menjebak target yang bahkan tidak bersalah atau tidak membeli atau menggunakan narkoba. Ternyata kasus salah tangkap atau rekayasa narkoba yang telah memakan banyak korban banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Dan hanya segelintir yang dipublikasikan atau mungkin masih banyak korban yang hingga kini masih berada di balik pintu jeruji besi. Mahkamah Agung atau MA pun pernah menyatakan polisi seringkali melakukan penjebakan atau rekayasa kasus narkoba. "Sudah menjadi notoire faiten bahwa dalam pemberantasan narkotika polisi seringkali melakukan penjebakan/rekayasa terhadap barang bukti seolah-olah milik terdakwa," kata Mahkamah Agung MA yang tertuang dalam putusan nomor 401 K/Pid.Sus/2012. Sudah menjadi rahasia umum jika praktik penegakan hukum yaitu penggeledahan dan penggerebekan, pihak kepolisian seringkali menggunakan orang lain (cepu) yang berperan menjebak pelaku dengan berbagai cara. Misalnya menyimpan barang bukti di tempat tertentu sehingga seolah-olah milik terdakwa. Bahkan petugas sendiri seringkali melakukannya.
Sebuah kasus unik terjadi pada Susi Susanti, seorang ibu rumah tangga yang menjadi tersangka pengedar narkoba mengaku bahwa dia bukanlah pengedar narkoba melainkan informan (cepu) yang selalu membeli sabu untuk polisi. Saat itu, menurutnya, ia diminta secepatnya membeli barang kepada seorang bandar yang sudah lama menjadi target operasi (TO) yakni, Muhalimin. "Anggota yang biasa menyuruh saya, Bripka HO dan Brigadir AS. Waktu itu saya diminta cepat-cepat beli barang ke bandar yang sudah lama menjadi TO mereka. Katanya, barang bandar baru masuk. Ternyata benar, barang bandar itu baru masuk setengah ons. Bahkan waktu saya membeli, banyak orang yang lagi makai di rumahnya itu. Setelah barang saya beli, saya langsung pergi. Langsung saya kabari, cepat tangkap karena barang baru masuk,"cerita Susi. Susi mengatakan, ia memberikan informasi kepada polisi sekitar pukul 21.00 WIB. Namun pada saat itu, katanya, polisi tidak langsung melakukan penggerebekan. "Polisi baru melakukan pengrebekan padal pukul 23.30 WIB. Bandar dan orang-orang yang memakai di dalam rumhanya itu sudah tidak ada lagi, jadi tidak ada yang tangkap. Tiba-tiba saya yang dijadikan tumbal, kata polisi yang suruh saya, TO abang sudah kabur dek. Polisi langsung foto BB yang disuruh beli tadi ditangan saya,"ungkap Susi.
Susi mengaku, seluruh isi BAP (berita acara pemeriksaan) polisi tidak benar semua. Bahkan ia mengaku sudah berusaha mempertanyakan atas dirinya ditetapkan sebagai tersangka. Namun, kata Susi, Polisi yang menangkapnya tidak peduli atas apa yang telah dilakukannya selama menjadi informen polisi. Susi dihadirkan kepersidangan untuk mendengarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negri (Kejari) Tanjungpinang, Evan Afturedi. Dalam dakwaan Jaksa, Susi didakwa pasal berlapis. Sesuai barang bukti yang diamankan dari tangan terdakwa sebanyak 0,32 gram, terdakwa diancam pasal 114 ayat 1 jo pasal 112 ayat 1 undang-undang RI nomor 35 tahun 2009. Dalam banyak kasus serupa pun banyak kritikan yang datang perihal cara polisis menegakan hukum ini. Koreksi secara tidak langsung dalam kasus narkotika diataranya pada 2012 silam, hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Barat juga ‘mengoreksi’ cara-cara polisi menangani kasus narkotika yang melibatkan seorang akvitis lembaga swadaya masyarakat di sana. Menggunakan argumentasi tentang bezit, majelis hakim banding membebaskan terdakwa. Hakim yakin ada orang lain yang sengaja memasukkan sabu-sabu ke kantong jaket milik terdakwa saat jaket itu digantung terdakwa di kursi. Majelis mengungkapkan pandangannya.
“Tidak adil untuk menyatakan bahwa terdakwa telah memiliki, menyimpan, dan menguasai serta menyediakan narkotika jenis shabu-shabu sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum, sedangkan terdakwa sendiri tidak tahu dan tidak kenal dengan benda yang ada dalam saku jaketnya, apalagi darimana datangnya benda tersebut sehingga harus dituduh berada di bawah penguasaannya”. LBH Masyarakat adalah salah satu lembaga swadaya masyarakat yang menaruh perhatian pada kasus-kasus sejenis. Ricky Gunawan, Direktur Eksekutif lembaga ini mengatakan rekayasa kasus narkoba sudah sering terjadi. “Ada banyak kasus rekayasa,”. Berdasarkan pemantauan LBH Masyarakat selama ini ada empat pola yang dipakai. Pola pertama dengan memanfaatkan informan, lazim disebut cepu. Dengan pola ini, polisi memanfaatkan informan –bisa polisi atau anggota komunitas-- untuk membujuk atau menyuruh seseorang membeli narkoba. Seringkali intense atau niat pembelian bukan berasal dari orang yang akan ditangkap melainkan dari informan tadi. Pola kedua sering disebut tukar kepala atau tukar bodi (turbo). Seseorang ditangkap karena narkoba, lalu dijanjikan akan dilepas jika mengungkapkan jaringan yang lebih besar. Setelah jaringan terungkap, orang tersebut dilepas, tetapi dua bulan kemudian ditangkap lagi. Pola ketiga adalah menanam barang bukti. Cara ini sangat vulgar. Beberapa orang polisi bekerjasama. Misalnya melakukan razia di sekitar lokasi pergerakan orang tertentu. Lalu di tempat gelap, polisi melemparkan barang bukti. Dua orang polisi pura-pura menemukan barang bukti sabu dan diklaim sebagai milik orang yang kena razia. Bisa juga diletakkan polisi di tempat tertentu dan disebut milik orang yang menjadi target. Di persidangan, kata Ricky, dua saksi verbalisan pasti menguatkan keterangan teman polisi mereka.
Pola keempat adalah merekayasa kasus melalui penyiksaan. Orang yang ditangkap disiksa dan dipaksa mengaku sebagai pemilik narkoba tertentu. Cara keempat ini biasa dilakukan jika polisi sudah punya target harus menyelesaikan berapa kasus narkoba dalam periode tertentu. Menurut Ricky, menghapus modus rekayasa kasus tak mudah. Penyelesaiannya multidimensi. Kritik atau koreksi yang dilakukan hakim, setidaknya lewat beberapa putusan, memperlihatkan upaya hakim meminimalisasi rekayasa kasus. Salah satu yang Ricky ingat adalah putusan MA No. 1531 K/Pid.Sus/2010 atas nama terdakwa Ket San. PN Sambas menghukum Ket San karena memiliki dan membawa narkotika. Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat menguatkan putusan itu. Tetapi Mahkamah Agung membatalkannya. Dalam pertimbangan, hakim agung menyatakan bahwa keterangan dua orang polisi saksi verbalisasi tidak dapat diterima dan kebenarannya sangat diragukan. Menurut hakim, kedua saksi verbalisan punya konflik kepentingan karena posisi itu membuat mereka berkehendak agar perkara itu berhasil dibawa ke pengadilan. Padahal seharusnya keterangan saksi harus bebas, netral, objektif dan jujur. Iklan dan pemberitaan pemberatasan narkoba marak memenuhi berbagai media dan Presiden menyatakan perang terhadap narkoba serta akan memberikan bonus bagi pihak penegak hukum yang memberantas kasus narkoba. Apakah hal-hal tersebut menjadi motivasi untuk mendapat tangkapan kasus yang tinggi sehingga menggunakan berbagai cara untuk menjerat siapapun? Bahkan orang yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa?
Sebuah kasus unik terjadi pada Susi Susanti, seorang ibu rumah tangga yang menjadi tersangka pengedar narkoba mengaku bahwa dia bukanlah pengedar narkoba melainkan informan (cepu) yang selalu membeli sabu untuk polisi. Saat itu, menurutnya, ia diminta secepatnya membeli barang kepada seorang bandar yang sudah lama menjadi target operasi (TO) yakni, Muhalimin. "Anggota yang biasa menyuruh saya, Bripka HO dan Brigadir AS. Waktu itu saya diminta cepat-cepat beli barang ke bandar yang sudah lama menjadi TO mereka. Katanya, barang bandar baru masuk. Ternyata benar, barang bandar itu baru masuk setengah ons. Bahkan waktu saya membeli, banyak orang yang lagi makai di rumahnya itu. Setelah barang saya beli, saya langsung pergi. Langsung saya kabari, cepat tangkap karena barang baru masuk,"cerita Susi. Susi mengatakan, ia memberikan informasi kepada polisi sekitar pukul 21.00 WIB. Namun pada saat itu, katanya, polisi tidak langsung melakukan penggerebekan. "Polisi baru melakukan pengrebekan padal pukul 23.30 WIB. Bandar dan orang-orang yang memakai di dalam rumhanya itu sudah tidak ada lagi, jadi tidak ada yang tangkap. Tiba-tiba saya yang dijadikan tumbal, kata polisi yang suruh saya, TO abang sudah kabur dek. Polisi langsung foto BB yang disuruh beli tadi ditangan saya,"ungkap Susi.
Susi mengaku, seluruh isi BAP (berita acara pemeriksaan) polisi tidak benar semua. Bahkan ia mengaku sudah berusaha mempertanyakan atas dirinya ditetapkan sebagai tersangka. Namun, kata Susi, Polisi yang menangkapnya tidak peduli atas apa yang telah dilakukannya selama menjadi informen polisi. Susi dihadirkan kepersidangan untuk mendengarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negri (Kejari) Tanjungpinang, Evan Afturedi. Dalam dakwaan Jaksa, Susi didakwa pasal berlapis. Sesuai barang bukti yang diamankan dari tangan terdakwa sebanyak 0,32 gram, terdakwa diancam pasal 114 ayat 1 jo pasal 112 ayat 1 undang-undang RI nomor 35 tahun 2009. Dalam banyak kasus serupa pun banyak kritikan yang datang perihal cara polisis menegakan hukum ini. Koreksi secara tidak langsung dalam kasus narkotika diataranya pada 2012 silam, hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Barat juga ‘mengoreksi’ cara-cara polisi menangani kasus narkotika yang melibatkan seorang akvitis lembaga swadaya masyarakat di sana. Menggunakan argumentasi tentang bezit, majelis hakim banding membebaskan terdakwa. Hakim yakin ada orang lain yang sengaja memasukkan sabu-sabu ke kantong jaket milik terdakwa saat jaket itu digantung terdakwa di kursi. Majelis mengungkapkan pandangannya.
“Tidak adil untuk menyatakan bahwa terdakwa telah memiliki, menyimpan, dan menguasai serta menyediakan narkotika jenis shabu-shabu sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum, sedangkan terdakwa sendiri tidak tahu dan tidak kenal dengan benda yang ada dalam saku jaketnya, apalagi darimana datangnya benda tersebut sehingga harus dituduh berada di bawah penguasaannya”. LBH Masyarakat adalah salah satu lembaga swadaya masyarakat yang menaruh perhatian pada kasus-kasus sejenis. Ricky Gunawan, Direktur Eksekutif lembaga ini mengatakan rekayasa kasus narkoba sudah sering terjadi. “Ada banyak kasus rekayasa,”. Berdasarkan pemantauan LBH Masyarakat selama ini ada empat pola yang dipakai. Pola pertama dengan memanfaatkan informan, lazim disebut cepu. Dengan pola ini, polisi memanfaatkan informan –bisa polisi atau anggota komunitas-- untuk membujuk atau menyuruh seseorang membeli narkoba. Seringkali intense atau niat pembelian bukan berasal dari orang yang akan ditangkap melainkan dari informan tadi. Pola kedua sering disebut tukar kepala atau tukar bodi (turbo). Seseorang ditangkap karena narkoba, lalu dijanjikan akan dilepas jika mengungkapkan jaringan yang lebih besar. Setelah jaringan terungkap, orang tersebut dilepas, tetapi dua bulan kemudian ditangkap lagi. Pola ketiga adalah menanam barang bukti. Cara ini sangat vulgar. Beberapa orang polisi bekerjasama. Misalnya melakukan razia di sekitar lokasi pergerakan orang tertentu. Lalu di tempat gelap, polisi melemparkan barang bukti. Dua orang polisi pura-pura menemukan barang bukti sabu dan diklaim sebagai milik orang yang kena razia. Bisa juga diletakkan polisi di tempat tertentu dan disebut milik orang yang menjadi target. Di persidangan, kata Ricky, dua saksi verbalisan pasti menguatkan keterangan teman polisi mereka.
Pola keempat adalah merekayasa kasus melalui penyiksaan. Orang yang ditangkap disiksa dan dipaksa mengaku sebagai pemilik narkoba tertentu. Cara keempat ini biasa dilakukan jika polisi sudah punya target harus menyelesaikan berapa kasus narkoba dalam periode tertentu. Menurut Ricky, menghapus modus rekayasa kasus tak mudah. Penyelesaiannya multidimensi. Kritik atau koreksi yang dilakukan hakim, setidaknya lewat beberapa putusan, memperlihatkan upaya hakim meminimalisasi rekayasa kasus. Salah satu yang Ricky ingat adalah putusan MA No. 1531 K/Pid.Sus/2010 atas nama terdakwa Ket San. PN Sambas menghukum Ket San karena memiliki dan membawa narkotika. Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat menguatkan putusan itu. Tetapi Mahkamah Agung membatalkannya. Dalam pertimbangan, hakim agung menyatakan bahwa keterangan dua orang polisi saksi verbalisasi tidak dapat diterima dan kebenarannya sangat diragukan. Menurut hakim, kedua saksi verbalisan punya konflik kepentingan karena posisi itu membuat mereka berkehendak agar perkara itu berhasil dibawa ke pengadilan. Padahal seharusnya keterangan saksi harus bebas, netral, objektif dan jujur. Iklan dan pemberitaan pemberatasan narkoba marak memenuhi berbagai media dan Presiden menyatakan perang terhadap narkoba serta akan memberikan bonus bagi pihak penegak hukum yang memberantas kasus narkoba. Apakah hal-hal tersebut menjadi motivasi untuk mendapat tangkapan kasus yang tinggi sehingga menggunakan berbagai cara untuk menjerat siapapun? Bahkan orang yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa?
Comments
Post a Comment