Di tengah budaya dan hukum Arab Saudi yang patriarkis
Dalam sejarah Arab, pandangan bahwa darah harus dibayar oleh darah sudah muncul sejak sangat lama, bahkan jauh sebelum Islam lahir di Mekkah. Ini adalah hukum tak tertulis dalam tata kehidupan orang-orang badui Arab yang nomaden. Tidak ada hukum yang bisa digantikan selain pembalasan yang setimpal. Pada era Jahiliah antara masa 525 sampai 622 Masehi, sangat sedikit peninggalan literatur Arab secara tertulis yang bisa dikaji. Hal yang menunjukkan bahwa tidak ada hukum resmi yang diterapkan, yang ada hanyalah paribahasa, legenda, atau cerita rakyat yang kemudian menjadi peninggalan penting untuk menggali pengalaman orang-orang Arab. Pada era itu, sistem tulis bukannya tidak ada namun belum berkembang karena satu-satunya keunggulan artistik masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam adalah puisi atau prosa lisan. Orang-orang Badui Arab tidaklah sama dengan kaum gipsi di Eropa yang mengembara tanpa arah. Badui Arab merupakan representasi yang tepat bagaimana manusia bisa beradaptasi dengan luar biasa terhadap kondisi gurun yang sangat ekstrem. Berbagai kerajaan dan kepercayaan silih berganti tumbuh di jazirah Arab, namun di gunung pasir yang tandus orang-orang ini tetap mampu bertahan. Gurun pasir yang terlihat begitu mematikan, bagi mereka adalah tempat yang menjaga tradisi sakral, pemelihara bahasa dan darah mereka, dan benteng pertahanan yang kuat dari serangan musuh. Benteng kuat yang berupa hamparan pasir tanpa ujung, sumber air yang langka, panas terik yang membunuh, jejak kaki yang mudah terhapus sehingga membuat mudah tersesat, sampai badai gurun yang bisa menyerang tiba-tiba.
Keadaan demikian menjadi sekutu utama menghadapi musuh dari luar. Itulah yang menjadi sebab kenapa orang-orang Arab punya mentalitas yang sangat sulit untuk tunduk kepada bangsa asing. Sistem dan sejarah yang kemudian menjadi kultur masyarakat Arab dan pada perkembangan selanjutnya diadopsi menjadi salah satu hukum dalam penerapan hukum di Arab. Belum lagi jika menilik soal kesetaraan gender di negara ini. Di Saudi Arabia pada tahun 1930, perempuan hanya memperoleh pendidikan di rumah dengan mata pelajaran hapalan al-Qur’an. Arab Saudi melalui lembaga yang disebut mutawwa juga melarang perempuan mengendarai mobil atau berjalan kaki sendirian dan mereka diharuskan memakai hijab. Pandangan di atas banyak dikritik oleh kalangan feminis karena bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam. Allah tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan kekayaan, kebangsaan, jenis kelamin, melainkan berdasarkan taqwa. Apalagi, al-Qur’an tidak menyebutkan pembagian kerja perempuan dan laki-laki, tetapi pembagian tersebut hanya berdasarkan budaya, adat dan tradisi. Hal tersebut tentunya masih terbuka untuk didiskusikan. Jauh sebelum kedatangan Islam, tepatnya pada zaman Arab Jahiliyah, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang lemah dan inferior. .
Comments
Post a Comment