Ganja dan Indonesia
Di Indonesia, ganja merupakan salah satu tanaman yang digolongkan sebagai narkotika golongan I, bersama dengan zat seperti heroin, kristal meth atau sabu. Pada dekade kisaran 1960an, ganja akhirnya dicap ilegal oleh pemerintah. Namun, walaupun terlarang, ganja nyatanya merupakan zat terlarang yang digunakan oleh sekitar dua juta pengguna pada tahun 2014. Aturan hukum terkait ganja seimbang dengan aksi pelanggaraan hukum terkait heroin, terlepas dari berbagai argumentasi bahwa ganja tidak berbahaya. Pemakaian ganja memang mampu membawa dampak baik untuk kesehatan. Namun, sayangnya, pandangan masih kerap lebih banyak menyoroti dampak buruk yang terjadi bila seseorang menikmati ganja. Dampak itu adalah: Risiko kanker paru-paru, kanker kulit, kanker lambung, kanker otak, kanker hati, kanker getah bening, Hilang semangat untuk melakukan aktivitas dan cenderung merasa bosan, Menurunnya kemampuan otak untuk mengingat dan berpikir, Hasrat seks menurun, Produksi sperma berkurang bagi pria dan siklus haid tidak teratur bagi perempuan, Gangguan kejiwaan, Rusaknya sistem kekebalan tubuh, Gangguan pernafasan, Gangguan reproduksi, seperti kanker rahim, kanker serviks, kanker prostat, kanker, ovarium, impotensi, dan gangguan kehamilan, Gangguan pencernaan, seperti: radang usus, radang hati, radang ginjal, gagal ginjal, dan hepatitis, Semakin cepatnya detak jantung yang terkadang sulit untuk dikontrol, dan Mata memerah.
Efek di atas kemudian menjadi salah satu acuan untuk memperkuat posisi ganja sebagai salah satu zat yang tergolong destruktif bagi para konsumennya. Lagi-lagi, ganja tetap bertahan dalam posisi narkotika golongan 1. Namun berdasarkan penelitian US National Library of Medicine, ganja memang memiliki efek positif, utamanya untuk meredakan rasa sakit pada otot, bahkan mampu perlahan menyembuhkan penyakit tulang punggung yang kronis. Argumentasi ini kemudian berkembang, melihat bahwa ternyata ganja memiliki berbagai efek positif seperti:
Masyarakat Indonesia mengenal ganja pada abad ke-19, setelah Belanda sengaja mendatangkan tanaman ganja dari India ke Aceh sebagai penghalau hama kopi di Gayo, Aceh Tengah. Ganja juga digunakan untuk melindungi tanaman tembakau dari hama ulat dengan ditanam berdampingan. Sisa daun ganja yang digunakan untuk membalut tembakau agar tetap kering dan tidak berulat ditemukan dibuang begitu saja di Pasar Aceh yang bersisian dengan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh hingga 1945 . Masyarakat Aceh sendiri memandang ganja sebagai tanaman multiguna untuk mengendalikan gulma, hama, dan penyakit-penyakit pada tanaman utama seperti tembakau, cabai, atau tanaman budidaya lainnya. Oleh karena itu, untuk melindungi tanaman utamanya, seluruh lapisan petani menjadi penanam ganja. Selain untuk menghalau hama, sebagian masyarakat Aceh memanfaatkan biji ganja sebagai bumbu masak untuk jenis masakan tradisional tertentu. Ganja ketika itu tidak dibudidayakan secara khusus sebagai tanaman komersial. Sebelum Indonesia meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika PBB 1961 pada 1976, nilai ekonomi ganja di Indonesia jauh di bawah tembakau dan kopi serta hanya menjadi penghalau hama kedua tanaman itu. Pascapengesahan kebijakan tersebut, ganja mulai dibudidayakan, menjadi tanaman utama, serta bernilai jauh di atas kopi dan tembakau.
- Menghambat penyakit alzheimer yang menyerang otak
- Sebagai obat penenang yang menghilangkan kecemasan
- Menghentikan serangan epilepsi
- Menyembuhkan penyakit kanker
- Penghilang sakit nyeri.
- Meningkatkan kapasitas paru-paru
- Sebagai obat penyakit glukoma
- Menurunkan gejala multiple sclerosis.
- Mengatasi mual
- Mengatasi tremor dan meningkatkan kemampuan motorik pada penderita parkinson.
Masyarakat Indonesia mengenal ganja pada abad ke-19, setelah Belanda sengaja mendatangkan tanaman ganja dari India ke Aceh sebagai penghalau hama kopi di Gayo, Aceh Tengah. Ganja juga digunakan untuk melindungi tanaman tembakau dari hama ulat dengan ditanam berdampingan. Sisa daun ganja yang digunakan untuk membalut tembakau agar tetap kering dan tidak berulat ditemukan dibuang begitu saja di Pasar Aceh yang bersisian dengan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh hingga 1945 . Masyarakat Aceh sendiri memandang ganja sebagai tanaman multiguna untuk mengendalikan gulma, hama, dan penyakit-penyakit pada tanaman utama seperti tembakau, cabai, atau tanaman budidaya lainnya. Oleh karena itu, untuk melindungi tanaman utamanya, seluruh lapisan petani menjadi penanam ganja. Selain untuk menghalau hama, sebagian masyarakat Aceh memanfaatkan biji ganja sebagai bumbu masak untuk jenis masakan tradisional tertentu. Ganja ketika itu tidak dibudidayakan secara khusus sebagai tanaman komersial. Sebelum Indonesia meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika PBB 1961 pada 1976, nilai ekonomi ganja di Indonesia jauh di bawah tembakau dan kopi serta hanya menjadi penghalau hama kedua tanaman itu. Pascapengesahan kebijakan tersebut, ganja mulai dibudidayakan, menjadi tanaman utama, serta bernilai jauh di atas kopi dan tembakau.
Comments
Post a Comment