Di tengah budaya dan hukum Arab Saudi yang patriarkis part 2

Sejumlah peraturan suku Arab pra-Islam juga dinilai sangat memojokkan dan merugikan perempuan. Pernikahan dengan persetujuan antara lelaki dan keluarga perempuan sejatinya telah mengabaikan hak perempuan karena pernikahan yang seharusnya manjadi hak perempuan, tapi malah dilakukan oleh orang lain. Perceraian juga tidak dilakukan antara suami dan istri, tapi perceraian dilakukan dengan mengembalikan mahar (sebagai alat pembelian perempuan) oleh suami kepada orang tua pihak wanita. Dalam sistem kewarisan, perempuan juga tidak mendapat bagian kewarisan karena mereka tidak terlibat dalam perperangan mempertahankan suku dan kelompoknya, sehingga laki-laki lebih mendominasi dalam sistem kesukuan saat itu. Dalam sejarah Islam, kedudukan dan peranan perempuan tidak kalah tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Asiyah, putri Muzahim dan istri Firaun diangkat derajatnya karena ia berani menentang suaminya demi keadilan. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejumlah pandangan dan streotipe negatif pada perempuan disebabkan oleh sejumlah penafsiran al-Qur’an yang bias gender. Banyak kajian dari berbagai tokoh yang telah melakukan identifikasi terhadap penafsiran al-Qur’an yang dipengaruhi oleh bias. Pada umumnya, tulisan mereka tersebar dalam sejumlah karya ilmiah berbentuk buku maupun jurnal. Dari tulisan di atas, ditemukan sejumlah produk penafsiran dari al-Qur’an yang dikritisi oleh kelompok feminis karena dianggap bias gender dan dapat menghambat terwujudnya masyarakat gender. Sebagai konsekuensi, sejumlah penafsiran klasik perlu dikaji ulang untuk menjawab berbagai perubahan zaman sehingga al-Qur’an tetap relevan dengan berbagai situasi dan kondisi. Tema tersebut berkisar seputar isu kepemimpinan perempuan, nushuzistri, dan poligami. 
Jika kita cermati, sistem patriarki sejatinya telah membudaya di masyarakat. Praktek misoginis dan segregasi seolah-olah telah mengakar dan seringkali pembenaran praktek tersebut diperoleh dari klaim teks keagamaan. Oleh sebab itu, mengubah realitas sosial tidaklah mudah, sehingga diperlukan upaya keras dan berkelanjutan demi terwujudnya masyarakat yang egaliter dan berbudaya. Walaupun masih ditemui sejumlah paradigma dan kebijakan yang menyudutkan kaum perempuan, namun di sejumlah negara sudah terjadi kemajuan yang sangat signifikan seperti di Iran, Indonesia, Mesir, dan Turki. Tindakan dan pandangan negatif terhadap perempuan masih kita jumpai di masyarakat luas. sebagaimana ditemukan dalam sejumlah tradisi agama-agama yang berasal dari teks keagamaan yang mereka miliki. Kelahiran bayi perempuan dianggap sebagai aib, memalukan, dan lain sebagainya. Semenjak dahulu hingga sekarang hal tersebut masih terjadi dan dilekatkan pada perempuan. Hal tersebut jelas saja bertentangan dengan prinsip persamaan, keadilan, dan kesetaraan yang diemban Islam. Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah samadan setara di sisi Tuhannya hanya amal ibadah dan ketaqwaan yang membedakan keduanya. Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, kedatangan Nabi Muhammad untuk merubah tradisi Arab pra-Jahiliyyah dianggap sebagai revolusioner yang merubah dan meninggikan derajat perempuan dari yang sebelumnya tidak berarti.

Comments

Popular posts from this blog

Bahaya laten cepu!

Ganja dan Indonesia

Di tengah budaya dan hukum Arab Saudi yang patriarkis